Minggu, 05 Juni 2011

Finding The Jewel - Behind the scene


Behind The Scene Drama “Finding the Jewel”

 
Sejatinya anak anak kami tidak ada yang suka berpangku tangan atau berdiam diri ketika pentas seni ini masih dalam tahap persiapan. Mereka sebetulnya ingin sekali menampilkan suatu bentuk pertunjukan yang mampu ditampilkan ke khalayak ramai. 


Begitu pula yang terjadi di kelas kami, 5 plus. Sebagai guru kelas, saya sebetulnya juga ikut bersedih karena saya sendiri tidak bisa dancing atau singing. Kalaupun saya bisa dancing mungkin agak kaku kayak dancing robot yang notabene masih jarang dilihat keindahanya. Begitu pula apabila saya pilih singing lagu yang saya kenal dengan baik ialah lagu-lagu oldies atau rock tahun 90’an yang tentunya sangat tidak sesuai untuk dunia pendidikan. So dilemma juga, tapi semua berubah ketika saya tontonkan salah satu film komedi kesukaan saya “mind your language” sontak film tersebut menginspirasi kami semua bahwa ada hala-hal yang bisa membikin kita tertawa. 

Marco played as a cool narrator



So sepakat kami membuat Drama. Tantangan pertama yang kami hadapi ialah format dan ide pokok drama kami. Kami ingin menampilkan sesuatu yang kocak tapi tetap memiliki intelegence sound yang tinggi atau ada unsur “sense of humor” dan tentunya menyatu dengan drama utama pentas seni ini. Dan tentunya drama berbahasa inggris.  


Berkat anak-anak kami juga, cerita original ada. Ketika semua sibuk berlatih dance, singing atau teater, kami masih sibuk mencari atau menyusun plot kami. Dan kami minta anak-anak untuk share idea serta kami berikan kebebasan mereka untuk membuat draft dialogue terlebih dahulu. Tahap ini diketuai oleh Chacha yang dibantu oleh Gabby, Dianca serta Dharma beserta segenap siswa dikelas kami. 


Idea cerita mereka terinspirasi oleh cerita “Tsunami Girl” yakni sebuah bacaaan fiksi yang kita baca dan diskusikan bersama.  Cerita tersebut kami posting juga di blog ini.
Kemudian, setelah mendapatkan draft plot dan dialogue, malam harinya saya mencoba mengedit plot drama anak-anak kami.





 



Tantangan yang kedua ialah waktu berlatih kami yang kurang dari seminggu. Kita juga belum tahu apakah dubbing atau live performance. Tapi saya selalu katakana ini pada anak-anak:
“kita semua tahu apa yang diinginkan penonton. Mereka suka akan hal yang glamor, ramai, dan yang Gaul. Apa yang akan kita lakukan nanti ialah sesuatu yang jauh dari itu semua. Tapi saya akan sangat bangga apabila kita bisa memberikan sesuatu yang berbeda… saya tidak akan memaksa kalian, tapi kalianlah yang menentukan. Kalau mau ambil bagian… so let’s make a move, and I hope I will never let you down. kalau bimbang atau tidak mau… that’s your right. I don’t mind”


Ternyata respon yang kami begitu menakjubkan. Anak-anak kami begitu antusias. Dan mereka benar-benar melaksanakan tahap-tahap latihan tanpa mengeluh serta yang lebih penting kami semua saling mendukung, memberi saran. Bahkan ada beberapa yang mau menjadi pemain penganti ketika pemain utama sedang sakit.
Beginilah metode cara kami berlatih:
 
1.      Kami membaca bersama-sama atau reading aloud. Sebagai sutradara, kalau boleh saya berbangga sedikit, sudah menjadi tugas saya untuk memberi contoh bagaimana intonasi digunakan. Bahkan kami saya sempat mencari cuplikan dari Character Geofrey Chaucer dari A Knight’s Tale .
Kami membaca berulang-ulang bahkan kami juga membayangkan kami benar-benar in the story.
2.      Setelah itu kami, kami bagi peran sesuai dengan character anak-anak kami. Apabila ada beberapa anak yang menghendaki peran yang sama maka akan kami adakan “Audisi Kecil” dimana yang menjadi juri ialah teman sekelas.
3.      Lalu kami latihan berperan. Note: sebelum kami berlatih, kami selalu targetkan goal setiap session. Ambil contoh
a.      Flowing on story = character tahu kapan harus keluar masuk
b.      Speak and do = keserasian antara apa yang kami ucapkan dan lakukan
c.       Gabungan A + B
d.      Latihan dengan Props
e.      Latihan didepan public

4.      Pengadaan prop. Setelah kita lakukan beberapa kali latihan, untuk tetap menjaga interest kami maka kami memikirkan custom kami. Kami ingin adanya dua dunia atau dua zaman dalam cerita kami. Masa kini yang diwakili oleh 2 travellers (Dianca dan Gabby) masa lampau atau tempoe dulu yang diwakili oleh Penjaga Hutan yang Sakti ( Dharma) dan Oldwoman by Chacha.
Kami berpedoman, custom yang akan kami gunakan hendaknya easy to get, pay no money, not over accessory and support the story. So every character prepared their own Story…  
5.      Dress rehearsal kami lakukan seharusnya lengkap dengan prop dan di lokasi graduation tapi urung kami lakukan.
6.      Show Time. kita tunjukan hasil kerja keras kami di graduation. The problem are two… sometimes we speak too fast and most of the audience are not used to “terbiasa” mengunakan bahasa Inggris. 
Well… we think it is not Bad At ALL… we give something different… English drama comedy. We will post the original script of our drama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar